Dalam upaya membangun ekonomi kerakyatan, Presiden RI
telah memberikan arahan untuk melakukan pengembangan UMKM Naik Kelas dan
Modernisasi Koperasi. Peran UMKM sangat besar untuk pertumbuhan perekonomian
Indonesia, dengan jumlahnya mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha.
Kontribusi UMKM terhadap PDB juga mencapai 60,5%, dan terhadap penyerapan
tenaga kerja adalah 96,9% dari total penyerapan tenaga kerja nasional. “Ini critical
engine untuk perekonomian kita supaya maju. Jadi kita bertopang
sangat besar kepada UMKM kita. Selama pandemi, kita melihat banyak UMKM
terpuruk, tapi begitu kita melihat saat ini sebanyak 84,8% UMKM yang tadinya
terpuruk sudah kembali beroperasi normal. Kebijakan Pemerintah selama pandemi
terbukti cukup efektif dalam mewujudkan hal itu. Sebelumnya, kondisi UMKM lokal sempat menurun
pada dua tahun pertama pandemi Covid-19 yakni di tahun 2020-2021. Berdasarkan
survei dari UNDP dan LPEM UI yang melibatkan 1.180 responden para pelaku UMKM
diperoleh hasil bahwa pada masa itu lebih dari 48% UMKM mengalami masalah bahan
baku, 77% pendapatannya menurun, 88% UMKM mengalami penurunan permintaan
produk, dan bahkan 97% UMKM mengalami penurunan nilai aset. Kebijakan strategis yang diterapkan Pemerintah
di antaranya yaitu Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), implementasi UU
Cipta Kerja dan aturan turunannya, maupun program Bangga Buatan Indonesia
(BBI). Program PEN sendiri mencakup program Dukungan
UMKM, di antaranya di bidang pembiayaan KUR pada masa pandemi, Bantuan
Produktif Usaha Mikro (BPUM), Subsidi Bunga/Margin Non-KUR, Penempatan Dana/Penempatan
Uang Negara, Penjaminan Kredit UMKM, Pembiayaan investasi kepada koperasi
melalui LPDB KUMKM, Pajak Penghasilan Final (PPh) UMKM Ditanggung Pemerintah,
serta Bantuan Tunai Pedagang Kaki Lima, Warung dan Nelayan (BTPKLWN). “Kalau dilihat dari segi historical-nya, bansos kepada UMKM selama
masa pandemi ini membantu mereka untuk dapat membayar cicilan kreditnya lagi ke
perbankan. Kita akan dorong juga misalnya Bantuan Subsidi Upah (BSU) dan Kartu
Prakerja sebagai instrumen semi bansos. Ini cukup efektif karena insentif dari
Prakerja adalah yang terbesar dibandingkan insentif bansos lainnya,” kata
Deputi Rudy. Menurut data dari Asosiasi Fintech Pendanaan
Bersama Indonesia (AFPI), pada 2020 terdapat sekitar 46,6 juta dari total 64
juta UMKM di Indonesia belum memiliki akses permodalan dari perbankan maupun
lembaga keuangan bukan bank. Hambatan pembiayaan yang dialami UMKM menjadi
landasan bagi Pemerintah untuk memberikan dukungan fasilitas pembiayaan
lainnya, antara lain melalui program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL),
Mekaar PNM, Bank Wakaf Mikro, Pembiayaan Ultra Mikro (UMi), dan Kredit Usaha
Rakyat (KUR). Skema pembiayaan ini dapat diakses UMKM sesuai
kelasnya seiring dengan berkembangnya tingkat bisnis UMKM. Sejak 19 Januari
2022, skema KUR terdiri dari KUR Super Mikro, KUR Mikro, KUR Kecil, KUR Khusus,
dan KUR PMI. Khusus untuk KUR Super Mikro dan KUR Mikro tidak diperlukan agunan
tambahan. Perkembangan Kredit UMKM sendiri terus
meningkat dan NPL terus terjaga stabil. Kredit UMKM terus meningkat hingga
mencapai Rp1.275,03 triliun atau tumbuh 16,75% (yoy). NPL tetap terjaga pada
kisaran 4%, di mana posisi terakhir pada April 2022 NPL tercatat mencapai
4,38%, lebih rendah dibandingkan periode sama tahun lalu yang berada di 4,41%. Namun, kenaikan tersebut dinilai masih jauh
dibandingkan beberapa negara lain seperti Singapura (41%), Thailand (41%), dan
Tiongkok (60%). Jadi, target kontribusi ekspor UMKM diharapkan meningkat
menjadi 17% di 2024. “Bapak Presiden meminta agar ada 30 juta UMKM
yang go digital di 2024
mendatang. Ini sedang kita dorong melalui sistem klaster atau sentra, karena
hasil akhir yang diharapkan tak hanya mereka masuk platform digital, namun juga
akan berhasil menjadi pemain global dan berorientasi ekspor,” ungkap Deputi
Rudy. Jumlah kontribusi ekspor UMKM naik dari 14,37%
pada 2020 menjadi 15,69% pada 2021. Salah satu upaya untuk meningkatkan daya
saing UKM yakni dengan memanfaatkan peluang integrasinya ke dalam pasar global
melalui Global Value Chain (GVC)
maupun Global E-Commerce (GEC).
Integrasi UKM ke dalam GVC dapat dilakukan dalam bentuk ekspor tidak langsung
melalui agregator domestik maupun perusahaan afiliasi asing.
Dengan demikian, tantangan UMKM ke depan yang
harus diatasi bersama oleh segenap stakeholders terkait
antara lain berkaitan dengan inovasi dan teknologi, literasi digital,
produktivitas, legalitas atau perizinan, pembiayaan, branding dan
pemasaran, sumber daya manusia, standardisasi dan sertifikasi, pemerataan
pembinaan, pelatihan, dan fasilitasi, serta basis data tunggal. |