• 8.00 : 18.00

Dua kali dalam sejarah krisis keuangan global, UMKM menjadi modalitas ekonomi Indonesia dalam situasi resesi. UMKM menjadi sektor perekonomian yang perlahan tapi pasti menyelamatkan bangsa Indonesia pada tahun 1997-1999 dan 2008-2009. Fenomena ini bisa menjadi referensi penting bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan ekonomi selama dan pasca pandemi corona.

Data BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat, meskipun jumlah UMKM pascakrisis ekonomi tahun 1997-1998 turun sebesar 7,42% (dari 39.765.110 unit menjadi 36.813.578 unit), akan tetapi Pertumbuhan sumbangan PDB UMK justru naik drastis sebesar 52,24% (dari 363,2 T menjadi 552,9T). Selain itu pertumbuhan nilai ekspornya juga naik 76,48 % (dari sekitar 39,27 Triliun Rupiah menjadi 69,31 Triliun Rupiah). Angka statistik ini menjadi bukti sekaligus harapan peran UMKM pasca pandemi corona ini.

Hal ini senada dengan pendapat Rohmad Hadiwijoyo (Ketua Dewan Direktur CIDES (Center for Information and Development Studies). Ia mengungkapkan bahwa meskipun UMKM relatif belum memiliki porsi signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara nasional, UMKM berperan penting menjadi tulang punggung dan penyangga Indonesia agar perekonomian tidak runtuh.

Penelitian Imam Sugema, Krisis Keuangan Global 2008-2009 dan Implikasinya pada Perekonomian Indonesia juga menyinggung UMKM. Imam menyebutkan bahwa Indonesia memiliki “keberuntungan yang tidak disengaja” yaitu: rasio ekspor terhadap PDB yang tidak terlalu tinggi) dan pasar domestik yang besar. Hal ini berarti perekonomian kita tidak terlalu tergantung kepada kegiatan ekspor dan Indonesia punya pasar dalam negeri yang cukup besar. Sehingga, implikasi resesi global tidak berdampak signifikan. Dua faktor ini jelas berkaitan erat dengan entitas bisnis UMKM di Indonesia.

Lantas, apa poin kekuatan UMKM sehingga sanggup bertahan di tengah gelombang krisis

Pertama, barang dan jasa yang dihasilkan UMKM umumnya berada pada sektor barang dan jasa yang menjadi kebutuhan masyarakat sehari-hari. Sehingga, walaupun daya beli masyarakat merosot saat krisis, permintaan barang dan jasa kepada UMKM relatif tidak terlalu signifikan.

KeduaSumber daya UMKM mulai dari modal investasi, tenaga kerja, bahan baku, sampai teknologi dan peralatan lainnya umumnya menggunakan ketersediaan lokal. Dengan tidak mengandalkan barang impor, UMKM bisa berjalan tanpa harus menambah rasio impor terhadap PDB.

Ketiga, pelaku bisnis UMKM menjalankan usahanya bukan lewat dana pinjaman dari bank, melainkan dari sumber pemodalan pribadi. Dengan demikian meskipun bank mengumumkan kebijakan suku bunga yang tinggi lazimnya saat krisis terjadi, eksistensi bisnis UMKM secara khusus tidak terguncang.

 Copyright stekom.ac.id 2018 All Right Reserved