Gelombang
Revolusi industri 4.0 telah membawa perubahan fundamental pada berbagai tatanan
kehidupan global. Hal ini ditandai dengan semakin berkembangnya kreativitas dan
inovasi dengan memanfaatkan teknologi informasi yang pada pada akhirnya
mendisrupsi berbagai sendi kehidupan global, termasuk persaingan dalam bidang
ekonomi. Disrupsi
tersebut dapat tercermin dari terjadinya perubahan yang cepat akibat
pemanfaatan Artificial Intelligence (AI), Internet of Things, Human-Machine Interface, dan
merebaknya fenomena sharing economy.
Hal ini menjadi momentum untuk menjadikan kewirausahaan UMKM yang didukung
kreativitas dan inovasi sebagai garda terdepan memenangkan persaingan ekonomi
global. Era
revolusi industri 4.0 semakin menjadikan pengembangan kewirausahaan UMKM
sebagai salah satu isu strategis yang perlu mendapatkan perhatian kita bersama,
utamanya dalam memastikan pengembangan kebijakan yang kondusif
dalam mendukung Indonesia Maju. Kewirausahaan
UMKM dilakukan dengan membangun sinergitas dalam pemetaan potensi
kewirausahaan, menciptakan iklim kewirausahaan, menumbuhkembangkan
kewirausahaan dan inkubasi kewirausahaan serta dukungan pembiayaannya. Sebagaimana
kita ketahui bersama, terminologi kewirausahaan pertama kali muncul pada abad
18. Diawali dengan penemuan-penemuan baru seperti mesin uap, mesin pemintal, di
mana dalam awal sejarah perkembangannya kewirausahaan menjadi motor pertumbuhan
dan perluasan organisasi melalui inovasi dan kreativitas. Pengertian
kewirausahaan relatif berbeda-beda antar para ahli/sumber acuan sesuai dengan
titik berat perhatian atau penekanannya. Kewirausahaan dapat dimaknai sebagai
penciptaan organisasi baru (Gartner, 1988), menjalankan kombinasi (kegiatan)
yang baru (Schumpeter, 1934), ekplorasi berbagai peluang (Kirzner, 1973),
menghadapi ketidakpastian (Knight, 1921), dan mendapatkan secara bersama
faktor-faktor produksi (Say, 1803). Dari
beragam pengertian kewirausahaan yang ada, secara sederhana makna wirausahawan (entrepreneur) adalah orang yang berjiwa
berani mengambil resiko untuk membuka usaha dalam berbagai kesempatan, berjiwa
berani mengambil resiko artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha,
tanpa diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam kondisi tidak pasti
(Kasmir, 2007). Lebih
lanjut Schumpeter memaparkan bahwa kunci utama perkembangan ekonomi adalah para
inovator dan wiraswasta. Kemajuan ekonomi suatu masyarakat hanya bisa terwujud
dengan adanya inovasi oleh para entrepreneur.
Schumpeter juga membedakan pengertian antara pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi adalah peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh semakin
banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi
masyarakat tanpa adanya perubahan ‘teknologi’ produksi itu sendiri. Sementara
itu, pembangunan ekonomi adalah kenaikan output yang disebabkan oleh inovasi
yang dilakukan oleh para wiraswasta. Inovasi merupakan perbaikan teknologi
dalam arti luas misalnya penemuan produk baru, pembukaan pasar baru yang bersumber
dari kreativitas para wiraswasta untuk perbaikan kualitatif dari sistem ekonomi
itu sendiri. Dalam
teori kewirausahaan destruksi kreatif (the
creative destruction theory of entrepreneurship) yang digagas oleh
Joseph A. Schumpeter, wirausahawan dipandang sebagai inovator utama dan
kewirausahaan adalah pendorong utama ekonomi, menciptakan pertumbuhan ekonomi
melalui badai penghancuran kreatif (Schumpeter, 1947). Representasi
modern yang hebat dari teori Schumpeter tentang penghancuran kreatif dalam kewirausahaan
adalah perusahaan rintisan (start-up) yang
inovatif. Start-up bertujuan
untuk memecahkan masalah yang ada yang dialami oleh pasar dan penawaran incumbent saat ini. Start-up juga bertujuan untuk
menciptakan solusi baru yang pada akhirnya akan mengambil alih produk atau
layanan yang ada di pasar dengan menghancurkannya. Bagi
Indonesia pengembangan kewirausahaan menjadi suatu keniscayaan mengingat saat
ini tingkat kewirausahaan Indonesia baru mencapai 3,47%, lebih rendah dari
negara negara tetangga, seperti Singapura dengan tingkat kewirausahaan 8,5%,
Thailand dan Malaysia 4,5%. Padahal untuk menjadi negara maju setidaknya
dibutuhkan minimal 4% dari proporsi jumlah penduduk. Pandemi
Momentum Pengembangan Kewirausahaan Visi
Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong
royong yang antara lain dijabarkan melalui peningkatan kualitas manusia,
struktur ekonomi yang produktif mandiri dan berdaya saing, dengan pembangunan
yang merata dan berkeadilan, menjadikan pengembangan kewirausahaan menjadi
semakin strategis dalam memastikan visi dan misi Indonesia Maju dapat
diakselerasi capaiannya. Bonus
Demografi Indonesia yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2030
membutuhkan lebih banyak lagi wirausaha-wirausaha muda. Mengingat setiap
tahunnya terdapat 2,9 juta penduduk usia kerja baru atau anak-anak muda yang
baru masuk ke pasar kerja, tentunya kebutuhan atas lapangan kerja baru
harus disiapkan dan pengembangan kewirausahaan menjadi jawabannya. Gelombang Revolusi
industri 4.0 telah membawa perubahan fundamental pada berbagai tatanan
kehidupan global. Hal ini ditandai dengan semakin berkembangnya kreativitas dan
inovasi dengan memanfaatkan teknologi informasi yang pada pada akhirnya
mendisrupsi berbagai sendi kehidupan global, termasuk persaingan dalam bidang
ekonomi. Disrupsi
tersebut dapat tercermin dari terjadinya perubahan yang cepat akibat
pemanfaatan Artificial Intelligence (AI), Internet of
Things, Human-Machine Interface, dan merebaknya fenomena sharing
economy. Hal ini menjadi momentum untuk menjadikan kewirausahaan UMKM yang
didukung kreativitas dan inovasi sebagai garda terdepan memenangkan persaingan
ekonomi global. Era revolusi industri
4.0 semakin menjadikan pengembangan kewirausahaan UMKM sebagai salah satu
isu strategis yang perlu mendapatkan perhatian kita bersama, utamanya
dalam memastikan pengembangan kebijakan yang kondusif dalam
mendukung Indonesia Maju. Kewirausahaan UMKM
dilakukan dengan membangun sinergitas dalam pemetaan potensi kewirausahaan,
menciptakan iklim kewirausahaan, menumbuhkembangkan kewirausahaan dan inkubasi
kewirausahaan serta dukungan pembiayaannya. Sebagaimana kita
ketahui bersama, terminologi kewirausahaan pertama kali muncul pada abad 18.
Diawali dengan penemuan-penemuan baru seperti mesin uap, mesin pemintal, di
mana dalam awal sejarah perkembangannya kewirausahaan menjadi motor pertumbuhan
dan perluasan organisasi melalui inovasi dan kreativitas. Pengertian
kewirausahaan relatif berbeda-beda antar para ahli/sumber acuan sesuai dengan
titik berat perhatian atau penekanannya. Kewirausahaan dapat dimaknai sebagai
penciptaan organisasi baru (Gartner, 1988), menjalankan kombinasi (kegiatan)
yang baru (Schumpeter, 1934), ekplorasi berbagai peluang (Kirzner, 1973),
menghadapi ketidakpastian (Knight, 1921), dan mendapatkan secara bersama
faktor-faktor produksi (Say, 1803). Dari beragam
pengertian kewirausahaan yang ada, secara sederhana makna wirausahawan (entrepreneur)
adalah orang yang berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka usaha dalam
berbagai kesempatan, berjiwa berani mengambil resiko artinya bermental mandiri
dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam
kondisi tidak pasti (Kasmir, 2007). Lebih lanjut
Schumpeter memaparkan bahwa kunci utama perkembangan ekonomi adalah para
inovator dan wiraswasta. Kemajuan ekonomi suatu masyarakat hanya bisa terwujud
dengan adanya inovasi oleh para entrepreneur. Schumpeter juga
membedakan pengertian antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
adalah peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya
jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa
adanya perubahan ‘teknologi’ produksi itu sendiri. Sementara itu, pembangunan
ekonomi adalah kenaikan output yang disebabkan oleh inovasi yang dilakukan oleh
para wiraswasta. Inovasi merupakan perbaikan teknologi dalam arti luas misalnya
penemuan produk baru, pembukaan pasar baru yang bersumber dari kreativitas para
wiraswasta untuk perbaikan kualitatif dari sistem ekonomi itu sendiri. Dalam teori
kewirausahaan destruksi kreatif (the creative destruction theory of
entrepreneurship) yang digagas oleh Joseph A. Schumpeter, wirausahawan
dipandang sebagai inovator utama dan kewirausahaan adalah pendorong utama
ekonomi, menciptakan pertumbuhan ekonomi melalui badai penghancuran kreatif
(Schumpeter, 1947). Representasi modern
yang hebat dari teori Schumpeter tentang penghancuran kreatif dalam
kewirausahaan adalah perusahaan rintisan (start-up) yang
inovatif. Start-up bertujuan untuk memecahkan masalah yang ada
yang dialami oleh pasar dan penawaran incumbent saat
ini. Start-up juga bertujuan untuk menciptakan solusi baru
yang pada akhirnya akan mengambil alih produk atau layanan yang ada di pasar
dengan menghancurkannya. Bagi Indonesia
pengembangan kewirausahaan menjadi suatu keniscayaan mengingat saat ini tingkat
kewirausahaan Indonesia baru mencapai 3,47%, lebih rendah dari negara negara
tetangga, seperti Singapura dengan tingkat kewirausahaan 8,5%, Thailand dan
Malaysia 4,5%. Padahal untuk menjadi negara maju setidaknya dibutuhkan minimal
4% dari proporsi jumlah penduduk. Pandemi Momentum
Pengembangan Kewirausahaan Visi Indonesia Maju
yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong yang
antara lain dijabarkan melalui peningkatan kualitas manusia, struktur ekonomi
yang produktif mandiri dan berdaya saing, dengan pembangunan yang merata dan
berkeadilan, menjadikan pengembangan kewirausahaan menjadi semakin strategis
dalam memastikan visi dan misi Indonesia Maju dapat diakselerasi capaiannya. Bonus Demografi
Indonesia yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 membutuhkan lebih
banyak lagi wirausaha-wirausaha muda. Mengingat setiap tahunnya terdapat 2,9
juta penduduk usia kerja baru atau anak-anak muda yang baru masuk ke pasar
kerja, tentunya kebutuhan atas lapangan kerja baru harus disiapkan dan
pengembangan kewirausahaan menjadi jawabannya. Transformasi spirit
kewirausahaan pada ekonomi kerakyatan yakni Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) memiliki peran strategis dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional
setelah terdampak pandemi Covid-19, yang terbukti tangguh terhadap goncangan
akibat pandemi Covid 19. Hal itu terlihat dari kontribusi UMKM terhadap PDB
Indonesia terus meningkat sampai sekitar 60% di masa pra pandemi. Penyerapan tenaga
kerja oleh UMKM juga sangat tinggi dan terus bertumbuh mencapai 96,99% – 97,22%
dengan jumlah pelaku UMKM mencapai 62 juta atau sekitar 98% dari pelaku usaha
nasional. Peran penting UMKM dalam perekonomian nasional sejatinya mencerminkan
peran penting UMKM dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable
Development Goals (SDGs) di Indonesia. Pengembangan
kewirausahaan berbasis UMKM diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam
pencapaian pilar ekonomi SDGs dengan penciptaan lapangan kerja, penciptaan
kondisi kerja yang layak, inovasi bisnis, adaptasi dan mitigasi dampak negatif
ekonomi, sosial dan lingkungan untuk pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan
berkelanjutan. Keterkaitan antara
kewirausahaan dan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja menjadi
semakin relevan merujuk pada berbagai penelitian menunjukkan keterkaitan
positif antara kewirausahaan dan pertumbuhan ekonomi.
Gelombang Revolusi
industri 4.0 telah membawa perubahan fundamental pada berbagai tatanan
kehidupan global. Hal ini ditandai dengan semakin berkembangnya kreativitas dan
inovasi dengan memanfaatkan teknologi informasi yang pada pada akhirnya
mendisrupsi berbagai sendi kehidupan global, termasuk persaingan dalam bidang
ekonomi. Disrupsi
tersebut dapat tercermin dari terjadinya perubahan yang cepat akibat
pemanfaatan Artificial Intelligence (AI), Internet of
Things, Human-Machine Interface, dan merebaknya fenomena sharing
economy. Hal ini menjadi momentum untuk menjadikan kewirausahaan UMKM yang
didukung kreativitas dan inovasi sebagai garda terdepan memenangkan persaingan
ekonomi global. Era revolusi industri
4.0 semakin menjadikan pengembangan kewirausahaan UMKM sebagai salah satu
isu strategis yang perlu mendapatkan perhatian kita bersama, utamanya
dalam memastikan pengembangan kebijakan yang kondusif dalam
mendukung Indonesia Maju. Kewirausahaan UMKM
dilakukan dengan membangun sinergitas dalam pemetaan potensi kewirausahaan,
menciptakan iklim kewirausahaan, menumbuhkembangkan kewirausahaan dan inkubasi
kewirausahaan serta dukungan pembiayaannya. Sebagaimana kita
ketahui bersama, terminologi kewirausahaan pertama kali muncul pada abad 18.
Diawali dengan penemuan-penemuan baru seperti mesin uap, mesin pemintal, di
mana dalam awal sejarah perkembangannya kewirausahaan menjadi motor pertumbuhan
dan perluasan organisasi melalui inovasi dan kreativitas. Pengertian
kewirausahaan relatif berbeda-beda antar para ahli/sumber acuan sesuai dengan
titik berat perhatian atau penekanannya. Kewirausahaan dapat dimaknai sebagai
penciptaan organisasi baru (Gartner, 1988), menjalankan kombinasi (kegiatan)
yang baru (Schumpeter, 1934), ekplorasi berbagai peluang (Kirzner, 1973),
menghadapi ketidakpastian (Knight, 1921), dan mendapatkan secara bersama
faktor-faktor produksi (Say, 1803). Dari beragam
pengertian kewirausahaan yang ada, secara sederhana makna wirausahawan (entrepreneur)
adalah orang yang berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka usaha dalam
berbagai kesempatan, berjiwa berani mengambil resiko artinya bermental mandiri
dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam
kondisi tidak pasti (Kasmir, 2007). Lebih lanjut Schumpeter
memaparkan bahwa kunci utama perkembangan ekonomi adalah para inovator dan
wiraswasta. Kemajuan ekonomi suatu masyarakat hanya bisa terwujud dengan adanya
inovasi oleh para entrepreneur. Schumpeter juga membedakan
pengertian antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
adalah peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya
jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa
adanya perubahan ‘teknologi’ produksi itu sendiri. Sementara itu, pembangunan
ekonomi adalah kenaikan output yang disebabkan oleh inovasi yang dilakukan oleh
para wiraswasta. Inovasi merupakan perbaikan teknologi dalam arti luas misalnya
penemuan produk baru, pembukaan pasar baru yang bersumber dari kreativitas para
wiraswasta untuk perbaikan kualitatif dari sistem ekonomi itu sendiri. Dalam teori
kewirausahaan destruksi kreatif (the creative destruction theory of
entrepreneurship) yang digagas oleh Joseph A. Schumpeter, wirausahawan
dipandang sebagai inovator utama dan kewirausahaan adalah pendorong utama
ekonomi, menciptakan pertumbuhan ekonomi melalui badai penghancuran kreatif
(Schumpeter, 1947). Representasi modern
yang hebat dari teori Schumpeter tentang penghancuran kreatif dalam
kewirausahaan adalah perusahaan rintisan (start-up) yang
inovatif. Start-up bertujuan untuk memecahkan masalah yang ada
yang dialami oleh pasar dan penawaran incumbent saat
ini. Start-up juga bertujuan untuk menciptakan solusi baru
yang pada akhirnya akan mengambil alih produk atau layanan yang ada di pasar
dengan menghancurkannya. Bagi Indonesia
pengembangan kewirausahaan menjadi suatu keniscayaan mengingat saat ini tingkat
kewirausahaan Indonesia baru mencapai 3,47%, lebih rendah dari negara negara
tetangga, seperti Singapura dengan tingkat kewirausahaan 8,5%, Thailand dan
Malaysia 4,5%. Padahal untuk menjadi negara maju setidaknya dibutuhkan minimal
4% dari proporsi jumlah penduduk. Pandemi Momentum
Pengembangan Kewirausahaan Visi Indonesia Maju
yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong yang
antara lain dijabarkan melalui peningkatan kualitas manusia, struktur ekonomi
yang produktif mandiri dan berdaya saing, dengan pembangunan yang merata dan
berkeadilan, menjadikan pengembangan kewirausahaan menjadi semakin strategis
dalam memastikan visi dan misi Indonesia Maju dapat diakselerasi capaiannya. Bonus Demografi
Indonesia yang akan mencapai puncaknya pada tahun 2030 membutuhkan lebih
banyak lagi wirausaha-wirausaha muda. Mengingat setiap tahunnya terdapat 2,9
juta penduduk usia kerja baru atau anak-anak muda yang baru masuk ke pasar
kerja, tentunya kebutuhan atas lapangan kerja baru harus disiapkan dan
pengembangan kewirausahaan menjadi jawabannya. Transformasi spirit
kewirausahaan pada ekonomi kerakyatan yakni Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) memiliki peran strategis dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional
setelah terdampak pandemi Covid-19, yang terbukti tangguh terhadap goncangan
akibat pandemi Covid 19. Hal itu terlihat dari kontribusi UMKM terhadap PDB
Indonesia terus meningkat sampai sekitar 60% di masa pra pandemi. Penyerapan tenaga
kerja oleh UMKM juga sangat tinggi dan terus bertumbuh mencapai 96,99% – 97,22%
dengan jumlah pelaku UMKM mencapai 62 juta atau sekitar 98% dari pelaku usaha
nasional. Peran penting UMKM dalam perekonomian nasional sejatinya mencerminkan
peran penting UMKM dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable
Development Goals (SDGs) di Indonesia. Pengembangan
kewirausahaan berbasis UMKM diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam
pencapaian pilar ekonomi SDGs dengan penciptaan lapangan kerja, penciptaan
kondisi kerja yang layak, inovasi bisnis, adaptasi dan mitigasi dampak negatif
ekonomi, sosial dan lingkungan untuk pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan
berkelanjutan. Keterkaitan antara
kewirausahaan dan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja menjadi
semakin relevan merujuk pada berbagai penelitian menunjukkan keterkaitan
positif antara kewirausahaan dan pertumbuhan ekonomi. Hasil studi Ogunlana
(2018) menemukan kewirausahaan dapat memainkan peran penting dalam mencapai
pertumbuhan ekonomi bagi negara untuk mengatasi krisis ekonomi.Ia menegaskan
kewirausahaan dapat menghasilkan lapangan kerja, inovasi,
meningkatkan produksi, dan diversifikasi sumber pendapatan ekonomi dengan
mendorong pengembangan UMKM. Kita patut bersyukur
keberpihakan pemerintah RI dalam mengembangkan ekosistem yang kondusif terhadap
pengembangan kewirausahaan berbasis UMKM semakin meningkat dalam dekade
terakhir, yang semakin mendapatkan momentumnya pada kondisi pandemi Covid 19. Payung Hukum UU Cipta
Kerja dan produk turunannya sebagai bukti nyata keberpihakan kepada UMKM,
ditandai dengan adanya kemudahan, mendorong dari sektro mikro, sektor
informal ke formal dan mendorong UMKM naik kelas, dan semakin mudahnya
perizinan dan akses pembiayaan. Dari sisi permodalan,
alokasi dana berkisar Rp 123,46 triliun disiapkan untuk UMKM dalam program
Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Kementerian Koperasi dan UKM akan menyalurkan
kembali Bantuan Presiden (Banpres) Produktif
Usaha Mikro (BPUM)
tahap 2 pada Juni 2021. Bantuan ini ditujukan untuk 3 juta penerima
yang masing-masing akan mendapat hibah dana Rp 1,2 juta. Sebagaimana diketahui
BPUM tahap 1 telah disalurkan kepada 9,8 juta penerima dengan total
bantuan sebesar Rp 11,76 triliun. Dengan beragam
keberpihakan pemerintah diharapkan kewirausahaan berbasis UMKM dapat naik
kelas, langkah selanjutnya adalah memasifkan go digital
sehingga dapat meningkatkan daya saing UMKM, tidak lagi hanya sebagai pasar
bagi produk-produk asing ditengah laju perekonomian digital yang tidak
terbendung. Dengan potensi jumlah
penduduk yang besar, Indonesia sangat berpeluang besar mengisi ceruk
pasar digital yang tumbuh pesat khususnya di masa pandemi Covid 19.
Digitalisasi merupakan kunci karena baru 8 juta atau 13% dari 64 juta pelaku
UMKM yang telah memanfaatkan integrasi menuju teknologi digital. Pengembangan
kewirausahaan berbasis UMKM yang dituju diharapkan akan dapat meningkatkan daya
saing UMKM di pasar domestik dan global sehingga UMKM dapat terintegrasi
dengan Global Value Chains (GVC) dan semakin banyak UMKM yang
naik kelas (Scalling Up) yang ditandai dengan peningkatan
volume usaha, pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan tenaga kerja UMKM. Kita tentunya berharap
komitmen dari para pemangku kepentingan harus dapat terus ditingkatkan guna
lebih melibatkan pelaku UMKM, mengisi rantai pasok di sejumah sektor
seperti konstruksi, otomotif, hingga telekomunikasi dan terus diperluas dengan
memberikan ruang yang lebih besar lagi bagi pelaku UMKM di sentra-sentra
ekonomi produktif di Tanah Air sebagai bentuk perlindungan dan
pemberdayaan.
Pelaku bisnis harus
dapat menjadikan produk-produk UMKM menjadi primadona dalam etalase
produk-produk lokal dan unggulan daerah setempat dengan menyediakan
fasilitas dan ruang yang diberikan untuk mereka berkembang, misalnya produk
kuliner lokal dan kerajinan lokal di rest area tol, bandara
stasiun kereta api dan lainnya. |